Laman

Minggu, 24 April 2011

permasalahan wanita dalam dimensi sosial dan upaya mengatasi homeless

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Homeless atau gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). (Humaidi, (2003)).
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980).
Homeless (tuna wisma/gelandaan) adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma dimasyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap diwilayah tertentu dan hidup ditempat umum. berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada.Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung.

Adapun secara spesifik ciri-ciri tunawisma yaitu sebagai berikut:
• Para tunawisma tidak mempunyai pekerjaan
• Kondisi fisik para tunawisma yang dapat dibilang tidak sehat karena kondisi lingkungan yang memprihatinkan.
• Para Tunawisma biasanya mencari-cari barang atau makanan disembarang tempat demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Para Tunawisma hidup bebas tidak bergantung kepada orang lain ataupun keluarganya.

Tunawisma sendiri di bagi menjadi tiga, yaitu:
• Tunawisma biasa, yaitu mereka mempunyai pekerjaan namun tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya cacat, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal, juga mempunyai kekurangan jasmani dan rohani.


B. Alasan seorang wanita memilih menjadi tunawisma
Ada berbagai alasan yang menjadikan seseorang wanita memilih untuk menjalani hidupnya sebagai seorang Tunawisma. Mulai dari permasalahan psikologis, kerenggangan hubungan dengan keluarga, atau keinginan untuk hidup bebas. Namun alasan yang terbanyak dan paling umum adalah kegagalan para perantau dalam mencari pekerjaan. Cerita-cerita di kampung halaman tentang kesuksesan perantau kerap menjadi buaian bagi putra daerah untuk turut meramaikan persaingan di kota besar. Beberapa di antaranya memang berhasil, namun kebanyakan dari para perantau kurang menyadari bahwa keterampilan yang mumpuni adalah modal utama dalam perantauan. Sehingga mereka yang gagal dalam merengkuh impiannya, melanjutkan hidupnya sebagai tunawisma karena alas an tang sangat klasik yakni malu bila pulang ke kampung halaman.
Masalah kependudukan di Indonesia pada umumnya telah lama membawa masalah lanjutan, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. Dan bila kita meninjau keadaan dewasa ini, pemerataan lapangan pekerjaan di Indonesia masih kurang. Sehingga kota besar pada umumnya mempunyai lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kota-kota kecil.
Hal inilah yang menjadi penyebab keengganan tunawisma untuk kembali ke daerahnya selain karena perasaan malu karena berpikir bahwa daerahnya memiliki lapangan pekerjaan yang lebih sempit daripada tempat dimana mereka tinggal sekarang.

Adapun factor yang melatarbelakangi seorang wanita hidup sebagai gelandangan di kota besar dari pada mereka hidup di daerah asal :
a. Natural assets: seperti tanah dan air, sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya sehingga mereka berbondong-bondong berurbanisasi ke kota besar guna mencoba peruntungan, yang akhirnya mereka terjebak dalam situasi yang tak kunjung usai.
b. Human assets: kualitas sumber daya manusia yang masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi), dimana seorang wanita di desa di diskriminasikan dengan seorang laki-laki/ seorang wanita tidak boleh sekolah tinggi karena akhirnya mereka akan turun ke dapur.
c. Physical assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan komunikasi yang membuat para wanita tersebut semakin tertinggal dan bahkan tidak tahu apapun mengenai dunia luar dari daerah asal mereka. Sehingga mereka selalu berpikiran positif akan ada perubahan hidup yang lebih baik jika mereka pergi ke kota, padahal malah sebaliknya.
d. Financial assets: Minimnya dana yang dimiliki sebagai modal usaha di kota menjadikan mereka hanya mengandalkan apa yang dimilikinya. Bila yang dimiliki seorang wanita hanya tenaga, mereka akan menggunakan tenaga mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tentu saja tidaklah cukup. Sehingga tak jarang seorang wanita gelandangan menjajakan diri atau berprofesi sebagai PSK. Untuk yang level paling rendahnya, mereka memilih untuk menjadi seorang pengemis atau pengamen.
e. Social assets: berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Tentu saja seorang wanita desa tidaklah tahu menahu akan hal ini. Mereka hanya tahu mengenai bagaimana cara agar hari ini mereka bisa makan, entah besok.

C. Definisi Kesehatan Reproduksi Wanita.
Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Konverensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil,1996) menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu :
1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health)
2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making)
3. Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women)
4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)
Adapun definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan kelahiran anak mereka.

Konsep Pemikiran Tentang Kesehatan Reproduksi Wanita
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
1. Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
2. Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkan.
3. Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
4. Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
5. Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
Namun, berbagai masalah timbul seiring dengan berkembang pesatnya tunawisma –tunawisma wanita di kota besar. Mereka sudah tak menghiraukan lagi suara-suara yang menyerukan hak-hak mereka tentang baiknya kesehatan reproduksi wanita. Kesehatan reproduksi mereka berantakan, mereka tak mengacuhkan lagi slogan-slogan agar seorang wanita menjaga organ reproduksinya, karena tunas tunas bangsa yang sehat, lahir dari ibu yang sehat pula. Namun anggapan mereka berrbeda, semakin banyak anak yang lahir dari rahimnya, nantinya akan membantu si ibu untuk bekerja sebagai pengamen ataupun pengemis dijalanan. Ini dikarenakan, mereka telah terjebak dalam kejamnya kehidupan jalanan yang mereka jalani selama ini.
Karena pemikiran diri mereka inilah, menyebabkan jaminan kesehatan merekapun rendah, dan tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka nantinya. Dalam hal kebersihan dan kesehatan, rumah mereka seadanya, jauh dari kriteria rumah sehat, kotor, ventilasi kurang, penerangan kurang, keperluan unit mandi, cuci, dan masak tidak memenuhi criteria, sehingga keadaan kesehatan para tunawisma ini khususnya wanita semakin terpuruk.

Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi wanita di jalanan atau para tunawisma antara lain:
1. Gender, adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
2. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
• Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
• Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
• Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
3. Pendidikan yang rendah.
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.

4. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.


Sedangkan . masalah yang timbul dengan semakin banyaknya wanita tunawisma antara lain :
a. Pelecehan seksual
b. Tindak kekerasan
c. Pemerkosaan
d. Paksaan untuk masuk dunia pelacuran
e. Wanita yang diperjual belikan
f. Perbudakan
g. Komplikasi berbagai penyakit

D. Pola perilaku seksual perempuan tunawisma
Pola perilaku anak perempuan atau wanita yang terjadi di kehidupan jalanan yang dimulai dari usia sekolah hingga dewasa hampir sama,seakan-akan yang mereka lakukan adalah hal amat biasa tentunya diikalangan mereka. Berikut contohnya :
1. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
2. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
3. Tindak Kriminal
Kegiatan-kegiatan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang diketahui pernah dilakukan anak jalanan perempuan yaitu memeras, mencuri, mencopet dan pengedaran pil. Tindak kriminal terhadap anak jalanan ini juga dilakukan oleh petugas keamanan seperti Polisi, Satpol PP, TNI, Kantor Informasi dan Komunikasi Pemerintah, DLLAJ. Bagian sosial Pemerintah pada saat melakukan operasi razia ketertiban terhadap anak jalanan, gelandangan, anak yang dilacurkan dan pekerja seks komersial dengan perlakuan tidak manusiawi dan sadis.
4. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
5. Drop out dari sekolah
Anak-anak jalanan yang dulu pernah sekolah ini banyak mengalami kekerasan di sekolah seperti perlakuan salah baik yang dilakukan oleh teman maupun guru mereka.
Tentu saja hal yang tertera diatas adalah kenyataan pahit yang dialami seorang perempuan di dunia jalanan yang terbilang amat kejam. Karena tindakan diatas, tak hanya kesehatan reproduksi mereka yang mengalami gangguan, melainkan kesehatan mental mereka. Apalagi bila seorang mengalami pelecehan seksual. Trauma yang dibawa akibat kejadian pelecehan seksual itu akan terbawa sampai dewasa nantinya, yang tentunya akan sangat mengganggu perkembangan dari gadis tersebut.

E. Penanganan pada tunawisma
Permasalahan tunawisma sampai saat ini merupakan masalah yang tidak habis-habis, karena berkaitan satu sama lain dengan aspe-aspek kehidupan. Namun pemerintah juga tidak habis-habisnya berupaya untuk menanggulanginya. Dengan berupaya menemukan motivasi melalui persuasi dan edukasi terhadap tunawisma supaya mereka mengenal potensi yang ada pada dirinya, sehingga tumbuh keinginan dan berusaha untuk hidup lebih baik.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) selama ini cenderung kurang menyentuh stakeholdernya, atau pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam peraturan. Mekanisme yang saat ini sedang dijalankan adalah dibangunnya Panti Sosial penampung para tunawisma (gelandangan). Namun sekali lagi, efektifitasnya dirasa kurang karena Panti Sosial ini sebenarnya belum menyentuh permasalahan yang sebenarnya dari para tunawisma , yaitu keengganan untuk kembali ke kampung halaman. Sehingga yang terjadi di dalam praktek pembinaan sosial ini adalah para tunawisma yang keluar masuk panti sosial.

Adapun dalam sebuah penelitian cara penanggulangan terhadap tunawisma diterapkan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

a. Tahap persiapan
Karena tunawisma biasanya tidak mempunyai tempat tinggal, maka suatu hal yang esensial bila mereka ditanggulangi dengan memotivasi mereka untuk bersama-sama dikumpulkan dalam suatu tempat, seperti asrama atau panti sosial. Tujuan dalam tahap ini yaitu untuk berusaha memasuki atau mengenal aktivitas atau kehidupan para Tunawisma.

b. Tahap Penyesuaian diri
Setelah para tunawisma dikumpulkan , kemudian mereka harus belajar menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru, dimana berlaku aturan-aturan khusus. Agar nantinya mereka lebih disiplin dan teratur.
c. Tahapan pendidikan yang berkelenjutan
Setelah beberap para tunawisma dalam lingkungan tersebut diadakan evaluasi mengenai potensi mereka untuk belajar dengan maksud supaya mendapatkan pendidikan yang lebih layak.
Selain itu, dibawah ini terdapat solusi dalam menangani Tunawisma yaitu:
• Tugas pemerintah untuk menangani masalah perkotaan pada umumnya dan tunawisma pada khususnya adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak di kota-kota kecil. Sehingga mereka tak perlu hidup susah menjadi seorang gelandangan di kota besar.
• Rencana pembangunan pemerintah seharusnya mengedepankan pembangunan secara merata sehingga tidak timbul “gunung dan lembah” di negara, pembangunan hendaknya dilakukan dengan pola “dari desa ke kota” dan bukan sebaliknya. Sehingga, masing-masing putra daerah akan membangun daerahnya sendiri dan mensejahterakan hidupnya.
• Melakukan Pembinaan kepada para Tunawisma dapat dilakukan melalui panti dan non panti, tetapi pembina harus mengetahui asal usul daerahnya serta identifikasi penyebab yang mengakibatkan mereka menjadi penyandang masalah sosial itu.
• Kalau para Tunawisma disebabkan faktor ekonomi atau pendapatan yang kurang memadai, mereka bisa diberi bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya, di samping bantuan modal usaha.
• Mengembalikan para tunawisma ke kampung mereka masing-masing.
• Pemerintah atau masyarakat mengadakan Program Pendidikan non formal bagi para tunawisma, sehingga dengan cara ini Para Tunawisma mendapatkan pengetahuan.
Dengan mekanisme yang lebih menyentuh permasalahan dasar para Tunawisma tersebut diharapkan masalah tunawisma di kota besar dapat teratasi tanpa menciderai hak-hak individu mereka dan malah dapat membawa para gelandangan kepada kehidupan yang lebih baik.
Namun, mekanisme di atas merupakan tindakan jangka panjang dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terealisasi, untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antar generasi kepemerintahan agar hal tersebut dapat terwujud dan pada akhirnya kesejahteraan bangsa dapat lebih mudah dicapai. Dan tentunya mekanisme tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan paling tidak berangsur, agar hasil yang dicapai dari mekanisme yang dijalankan, hasilnya sesuai dengan harapan, beik pemerintah maupun individu itu sendiri(para tunawisma).
F. Kendala dalam penanganan Tunawisma.
Kendala-kendala yang menyulitkan upaya penanganan gelandangan adalah:
1. Alokasi dana untuk penanganan Tunawisma relatif kecil.
2. Upaya penanganan terhadap Tunawisma seringkali hanya berhenti pada pendekatan punitif-represif.
3. Upaya penanganan sering tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah.
4. Kurangnya partisipasi dan perhatian dari pemerintah.
5. belum teratasinya kemiskinan
Selain itu, dibawah ini terdapat solusi dalam menangani Tunawisma yaitu :
 Memberikan pendidikan agama yang kuat dalam keluarga.
 Melakukan pencegahan dengan cara memberikan penyuluhan / konseling, memberikan pendidikan pelatihan keterampilan.
 Dengan pengadaan rumah singgah dan diberikan berbagai pelatihan dan pendidikan.
 Transmigrasi.
 Menampung dipanti asuhan, panti sosial dan panti jompo.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980).
Factor yang melatarbelakangi seorang wanita hidup sebagai gelandangan :
1. Natural assets
2. Human assets
3. Physical assets
4. Financial assets
5. Social assets
Masalah yang timbul dengan semakin banyaknya wanita tunawisma antara lain :
a. Pelecehan seksual
b. Tindak kekerasan
c. Pemerkosaan
d. Paksaan untuk masuk dunia pelacuran
e. Wanita yang diperjual belikan
f. Perbudakan
g. Komplikasi berbagai penyakit
Penanggulangan terhadap tunawisma diterapkan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
d. Tahap persiapan
e. Tahap Penyesuaian diri
f. Tahapan pendidikan yang berkelenjutan

B. Saran
Dengan semakin banyaknya tunawisma yang ada di jalanan, diharapkan pembaca dan pemerintah dapat lebih memahami dalam sulitnya hidup dijalanan. Pembaca juga diharapkan dapat mengikutsertakan diri dalam upaya meminimalisir pembengkakan jumlah tunawiswa dengan diadakannya penyuluhan dan pembekalan diri di pedesaan mengenai bagaimana susahnya hidup di kota. Pemerintah juga harusnya dapat memperbanyak lapangan kerj didesa agar para tunawisma khususnya wanita tak perlu berbondong-bondong pergi ke kota untuk menjadi seorang gelandangan.
DAFTAR PUSTAKA
• www. Google.com. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-apriyantit-9457&PHPSESSID=c93183f95319426ec15e64c509cc07ca. 25 mei 2009.
• www. Google.com. http://www.hupelita.com/baca.php?id=13773. 28 Mei 2009.
www. Google.com. http://m.infoanda.com/readnewsasia.php. 26 Mei 2009
• Naning Ramdlon. SH. Problema gelandangan dalam tinjauan tokoh pendidikan dan psikologi. 1983. Armico: Bandung
• http://gedesedana.wordpress.com/2009/07/28/faktor-penyebab-terjadinya-gelandangan-dan-pengemis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar